BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai syiah ataupun
aliran syiah, kita tidak akan terlepas dengan mengaitkan hal tersebut dengan
agama islam. Di kalangan awam masyarakat islam menganggap syiah
adalah eksistensi yang tidak jelas, tidak diketahui apa hakikatnya,
bagaimana berkembang, tidak melihat bagaimana sejarahnya, dan tidak dapat
diprediksi bagaimana di kemudian hari. Mereka selalu mengaitkan bahwa syiah
adalah islam. Padahal islam dan syiah sangat berbeda sekali, terutama dalam hal
aqidahnya. bagaikan minyak dan air yang tidak mungkin dapat di satukan lagi.
Syi’ah dalam sejarah pemikiran Islam merupakan sebuah aliran yang
muncul dikarenakan politik dan seterusnya berkembang menjadi aliran teologi
dalam Islam. Sebagai salah satu aliran politik, bibitnya sudah ada sejak
timbulnya persoalan siapa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah.
Dalam persoalan ini Syi’ah berpendapat bahwa yang berhak menjadi khalifah
sepeninggal Rasulullah adalah keluarga sedarah yang dekat dengan Nabi, yaitu
Ali bin Abi Thalib dan harus dilanjutkan oleh anaknya, Hasan dan Husen, serta
keturunan-keturunannya. Syi’ah muncul sebagai salah satu aliran politik dalam
Islam baru dikenal sejak timbulnya peristiwa tahkim (arbitrase). Sementara
Syi’ah dikenal sebagai sebuah aliran teologi dalam Islam, yaitu ketika mereka
mencoba mengkaitkan iman dan kafir dengan Imam, atau dengan kata lain ketaatan
pada seorang Imam merupakan tolak ukur beriman tidaknya seseorang, di samping
paham mereka bahwa Imam merupakan wakil Tuhan serta mempunyai sifat ketuhanan.
Mengenai kemunculan syiah dalam sejarah terdapat perbedaan pendapat dikalangan
para ahli. Ada yang mengatakan syiah muncul pada masa khalifah Utsman bin
Affan, ada juga yang mengatakan syiah muncul ketika peperangan siffin terjadi
yang kemudian terpecah menjadi dua kelompok salah satunya adalah yang mendukung
khalifah Ali bin Abi Thalib.
Sebelum masuk jauh ke dalam pembagian Syi’ah, maka ada baiknya kita
usut terlebih dahulu asal-muasal lahirnya madzhab terbesar kedua di dunia
setelah Ahlus Sunnah ini. Ada cukup banyak literatur yang secara subjektiv
menuduh bahwa Syi’ah berasal dari tokoh Abdullah bin Saba’ yang membawa teologi
atau pengaruh Yahudi ke dalam tubuh Syi’ah sendiri. Hal ini tentu akan sangat
riskan terhadap pemahaman tentang ajaran ini ke depannya. Sebab, banyak
kalangan yang menilai bahwa Syi’ah adalah bagian dari Yahudi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Syi’ah itu?
2.
Bagaimana latar belakang kemunculan aliran Syi’ah?
3.
Siapa sajakah tokoh-tokoh Syi’ah?
4.
Apa saja sekte-sekte dan ajaran aliran Syi’ah?
5.
Bagaimanakah refleksi aliran Syi’ah untuk konteks kekinian?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui bagaimana latar belakang kemunculan aliran Syi’ah
2.
Untuk mengetahui pokok-pokok ajaran beserta
tokoh-tokohnya
3.
Untuk mengetahui dan menjelaskan sekte-sekte dan ajaran aliran Syi’ah
4.
Untuk mengetahui dan menjelaskan refleksi aliran Syi’ah untuk
konteks kekinian
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syi'ah
Syi’ah ialah
salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Syi'ah menolak kepemimpinan dari
tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah.
Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah Syi'i menunjuk kepada pengikut dari Ahlul
Bait dan Imam Ali. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan
10% menganut aliran Syi'ah.
Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab Syī`ah. Bentuk
tunggal dari kata ini adalah Syī`ī . "Syi'ah"
adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali artinya "pengikut
Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat
turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali, kamu dan pengikutmu
adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun)
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan
pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di
atas suatu perkara.Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang
menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama di antara para sahabat dan
lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula
anak cucunya sepeninggal beliau.[1]
Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan
bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami
perpecahan mazhab.
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para
Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru
terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad SAW, dan pembawa serta penjaga
tepercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi
Thalib, yaitu sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW dan kepala keluarga Ahlul
Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad SAW, yang berbeda
dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya
bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad SAW, dan
perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.[2]
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan
perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran
Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi
Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang
lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah
mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai
pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa
pengganti para Imam dan Imam saat ini.
B.
Sejarah munculnya Syi'ah
Mengenai kemunculan syi’ah dalam sejarah terdapat perbedaan
dikalangan ahli. Menurut Abu Zahrah, syi’ah mulai muncul pasda masa akhir
pemerintahan Usman bin Affaan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa
pewmerintahan Ali bin Abi Thalib, adapun menurut Watt, syi’ah baru benar-benar.
Muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal
dengan perang Shiffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali
terhadap arbritase yang ditawarkan Mu’awiyah. Pasukan Ali diceritakan terpecah
menjadi dua. Satu kelompok mendukung sikap Ali (Syi’ah) dan kelompok mendak
sikap Ali (Khawarij).[3]
Kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa
kemunculan syi’ah berkaitan dengn masalah penganti (Khilafah) Nabi SAW. Mereka
menlak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khathtab, dan Usman bin Affan karena dalam
pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib yang berhak mengantikan
Nabi SAW. Kepemimpinan Ali dalam pandangan syi’ah tersebut sejalan dengan
isyarat-isyarat yang diberikan Nabi SAW, pada masa hidupnya. Pada awal kenabian
ketika Muhammad SAW diperintahkan menya,paikan dakwah ke kerabatnya, yang
pertama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada saat
itu mengatakan bahwa orang yang pertama menemui ajakannya akan menjadi penerus
dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan orang
yang luar biasa besar.[4]
Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus
Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji
terakhir, dalam perjalanan dari Mekkah ke Madinah di suatu padang pasir yang
bernama Ghadir Khumm. Nabi memilih Ali sebagai pengantinya dihadapan massa yang
menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai
pemimpin umum umat (walyat-i ‘ammali), tetapi juga menjadikna Ali sebagaimana
Nabi sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka. Namun realitasnya berbicara lain.
Berlawanan dengan harpan mereka, ketika nabi
wafata dan jasadnya belum dikuburkan, ada kelompok lain yang pergi ke masjid
untuk menentukan pemimpin yang baru karena hilangnya pemimpin yang secara tiba-tiba,
sedangkan anggota keluarga nabi dan beberapa sahabat masih sibuk
dengan persiapan upacara pemakaman Nabi. Kelompok inilah yang kemudian
menjadai mayoritas bertindak lebih jauh dan dengan sangat tergesa-gesa memilih
pemimpin yang baru dengan alasan kesejahteraan umat dann memcahkan masalah
mereka saat itu. Mereka melakukan itu tanpa berunding dahulu dengan ahlul bait,
kerabat, atau pun sahabat yang pada saat itu masih mengurusi pemakaman. Mereka
tidak memberi tahu sedikitpun. Dengan demikian, kawan-kawan Ali dihdapkan pada
suatu hal yang sudah tak bias berubah lagi (faith accomply).
C.
Tokoh-tokoh Syi’ah
Dalam pertimbangan Syi’ah, selain
terdapat tokoh-tokoh populer seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali,
Husain bin ‘Ali, terdapat pula dua tokoh Ahlulbait yang mempunyai pengaruh dan
andil yang besar dalam pengembangan paham Syi’ah, yaitu Zaid bin ‘Ali bin
Husain Zainal ‘Abidin dan Ja’far al-Shadiq. Kedua tokoh ini dikenal sebagai
orang-orang besar pada zamannya. Pemikiran Ja’far al-Shadiq bahkan dianggap
sebagai cikal bakal ilmu fiqh dan ushul fiqh, karena keempat tokoh utama fiqh
Islam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin
Hanbal, secara langsung atau tidak langsung pernah menimba ilmu darinya. Oleh
karena itu, tidak heran bila kemudian Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Rektor
Universitas al-Azhar, Mesir, mengeluarkan fatwa yang kontroversial di kalangan
pengikut Sunnah (Ahlussunnah.). Mahmud Syaltut memfatwakan bolehnya setiap
orang menganut fiqh Zaidi atau fiqh Ja’fari Itsna ‘Asyariyah.
Adapun Zaid bin ‘Ali bin Husain
Zainal ‘Abidin terkenal ahli di bidang tafsir dan fiqh. Pada usia yang relatif
muda, Zaid bin ‘Ali telah dikenal sebagai salah seorang tokoh Ahlulbait yang
menonjol. Salah satu karya yang ia hasilkan adalah kitab al-Majmû’
(Himpunan/Kumpulan) dalam bidang fiqh. Juga karya lainnya mengenai tafsir,
fiqh, imamah, dan haji.[5]
D. Ajaran-ajaran
Syi’ah
1. Ahlulbait.
Secara harfiah ahlulbait berarti
keluarga atau kerabat dekat. Dalam sejarah Islam, istilah itu secara khusus
dimaksudkan kepada keluarga atau kerabat Nabi Muhammad saw. Ada tiga bentuk
pengertian Ahlulbait. Pertama, mencakup istri-istri Nabi Muhammad saw dan
seluruh Bani Hasyim. Kedua, hanya Bani Hasyim. Ketiga, terbatas hanya pada Nabi
sendiri, ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan imam-imam dari keturunan ‘Ali bin
Abi Thalib. Dalam Syi’ah bentuk terakhirlah yang lebih populer.[6]
2. Al-Badâ’.
Dari segi bahasa, badâ’ berarti
tampak. Doktrin al-badâ’adalah keyakinan bahwa Allah swt mampu
mengubah suatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkan-Nya dengan
peraturan atau keputusan baru. Menurut Syi’ah, perubahan keputusan Allah itu
bukan karena Allah baru mengetahui suatu maslahat, yang sebelumnya tidak
diketahui oleh-Nya (seperti yang sering dianggap oleh berbagai pihak). Dalam
Syi’ah keyakinan semacam ini termasuk kufur. Imam Ja’far al-Shadiq
menyatakan,“Barangsiapa yang mengatakan Allah swt baru mengetahui sesuatu
yang tidak diketahui-Nya, dan karenanya Ia menyesal, maka orang itu bagi kami
telah kafir kepada Allah swt.” Menurut Syi’ah, perubahan itu karena
adanya maslahat tertentu yang menyebabkan Allah swt memutuskan suatu perkara
sesuai dengan situasi dan kondisi pada zamannya. Misalnya, keputusan Allah
mengganti Isma’il as dengan domba, padahal sebelumnya Ia memerintahkan Nabi
Ibrahim as untuk menyembelih Isma’il as.
3. Asyura.
Asyura berasal
dari kata ‘asyarah, yang berarti sepuluh. Maksudnya adalah hari
kesepuluh dalam bulan Muharram yang diperingati kaum Syi’ah sebagai hari
berkabung umum untuk memperingati wafatnya Imam Husain bin ‘Ali dan keluarganya
di tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tahun 61 H di
Karbala, Irak. Pada upacara peringatan asyura tersebut, selain mengenang
perjuangan Husain bin ‘Ali dalam menegakkan kebenaran, orang-orang Syi’ah juga
membaca salawat bagi Nabi saw dan keluarganya, mengutuk pelaku pembunuhan
terhadap Husain dan keluarganya, serta memperagakan berbagai aksi (seperti
memukul-mukul dada dan mengusung-usung peti mayat) sebagai lambang kesedihan terhadap
wafatnya Husain bin ‘Ali. Di Indonesia, upacara asyurajuga
dilakukan di berbagai daerah seperti di Bengkulu dan Padang Pariaman, Sumatera
Barat, dalam bentuk arak-arakan tabut
4. Imamah (kepemimpinan).
Imamah adalah
keyakinan bahwa setelah Nabi saw wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang
melanjutkan misi atau risalah Nabi. Atau, dalam pengertian Ali Syari’ati,
adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan
rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat
di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran,
pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan. Dalam Syi’ah, kepemimpinan
itu mencakup persoalan-persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Imam bagi mereka
adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat. Pada umumnya, dalam
Syi’ah, kecuali Syi’ah Zaidiyah, penentuan imam bukan berdasarkan kesepakatan
atau pilihan umat, tetapi berdasarkan wasiat atau penunjukan oleh imam
sebelumnya atau oleh Rasulullah langsung, yang lazim disebutnash.
5. ‘Ishmah.
Dari segi bahasa, ‘ishmah adalah
bentuk mashdar dari kata‘ashama yang berarti memelihara atau
menjaga. ‘Ishmah ialah kepercayaan bahwa para imam itu,
termasuk Nabi Muhammad, telah dijamin oleh Allah dari segala bentuk perbuatan
salah atau lupa. Ali Syari’ati mendefinisikan ‘ishmah sebagai
prinsip yang menyatakan bahwa pemimpin suatu komunitas atau masyarakat—yakni,
orang yang memegang kendali nasib di tangannya, orang yang diberi amanat
kepemimpinan oleh orang banyak—mestilah bebas dari kejahatan dan kelemahan.
6. Mahdawiyah.
Berasal dari kata mahdi,
yang berarti keyakinan akan datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman
yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat itu
disebut Imam Mahdi. Dalam Syi’ah, figur Imam Mahdi jelas sekali. Ia adalah
salah seorang dari imam-imam yang mereka yakini. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah,
misalnya, memiliki keyakinan bahwa Muhammad bin Hasan al-Askari (Muhammad
al-Muntazhar) adalah Imam Mahdi. Di samping itu, Imam Mahdi ini diyakini masih
hidup sampai sekarang, hanya saja manusia biasa tidak dapat menjangkaunya, dan
nanti di akhir zaman ia akan muncul kembali dengan membawa keadilan bagi
seluruh masyarakat dunia.
7. Marja’iyyah atau Wilâyah
al-Faqîh.
Kata marja’iyyah berasal
dari katamarja’ yang artinya tempat kembalinya sesuatu. Sedangkan
kata wilâyah al-faqîh terdiri dari dua kata: wilâyah
berarti kekuasaan atau kepemimpinan; danfaqîh berarti
ahli fiqh atau ahli hukum Islam. Wilâyah al-faqîh mempunyai
arti kekuasaan atau kepemimpinan para
fuqaha.
8. Raj’ah.
Kata raj’ah berasal
dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali. Raj’ah adalah
keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah swt yang paling saleh
dan sejumlah hamba Allah yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan
kekuasaan Allah swt di muka bumi, bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi. Sementara
Syaikh Abdul Mun’eim al-Nemr mendefinisikan raj’ah sebagai
suatu prinsip atau akidah Syi’ah, yang maksudnya ialah bahwa sebagian
manusiaakan dihidupkan kembali setelah mati karena itulah kehendak dan hikmat
Allah, setelah itu dimatikan kembali. Kemudian di hari kebangkitan kembali
bersama makhluk lain seluruhnya. Tujuan dari prinsip Syi’ah seperti ini adalah
untuk memenuhi selera dan keinginan memerintah. Lalu kemudian untuk membalas
dendam kepada orang-orang yang merebut kepemimpinan ‘Ali.
9. Taqiyah. Dari segi
bahasa,
taqiyah berasal
dari kata taqiya atau ittaqâyang artinya
takut. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga
keselamatan jiwa karena khawatir akan
bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hatian ini terkandung sikap
penyembunyian identitas dan ketidakterusterangan. Perilaku taqiyah ini
boleh dilakukan, bahkan hukumnya wajib dan merupakan salah satu dasar mazhab Syi’ah.
10. Tawassul.
Adalah memohon sesuatu kepada Allah
dengan menyebut pribadi atau kedudukan seorang Nabi, imam atau bahkan seorang
wali suaya doanya tersebut cepat dikabulkan Allah swt. Dalam Syi’ah, tawassulmerupakan
salah satu tradisi keagamaan yang sulit dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa
hampir setiap doa mereka selalu terselip unsur tawassul, tetapi
biasanya tawassul dalam Syi’ah terbatas pada pribadi Nabi saw
atau imam-imam dari Ahlulbait. Dalam doa-doa mereka selalu dijumpai
ungkapan-ungkapan seperti “Yâ Fâthimah isyfa’î ‘indallâh” (wahai
Fathimah, mohonkanlah syafaat bagiku kepada Allah), dsb.
11. Tawallî dan tabarrî.
Kata tawallî berasal dari kata tawallâ
fulânan yang artinya mengangkat seseorang sebagai pemimpinnya.
Adapun tabarrî berasal dari kata tabarra’a ‘an fulân yang
artinya melepaskan diri atau menjauhkan diri dari seseorang. Kedua sikap ini
dianut pemeluk-pemeluk Syi’ah berdasarkan beberapa ayat dan hadis yang mereka
pahami sebagai perintah untuk tawallî kepada Ahlulbait
dan tabarrî dari musuh-musuhnya. Misalnya, hadis Nabi mengenai
‘Ali bin Abi Thalib yang berbunyi: “Barangsiapa yang menganggap aku ini
adalah pemimpinnya maka hendaklah ia menjadikan ‘Ali sebagai pemimpinnya. Ya
Allah belalah orang yang membela Ali, binasakanlah orang yang menghina ‘Ali dan
lindungilah orang yang melindungi ‘Ali.” (H.R. Ahmad bin Hanbal)
E. Sekte-sekte
Syi’ah
Para ahli
umumnya membagi sekte Syi’ah ke dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah,
Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Ghulat.[7]
Golongan Imamiyah pecah menjadi beberapa golongan. Yang terbesar adalah
golongan Itsna ‘Asyariyah atau Syi’ah Duabelas. Golongan lainnya adalah
golongan Isma’iliyah.
Selain itu terdapat juga pendapat lain.
Misalnya dari al-Syahrastani. Beliau membagi Syi’ah ke dalam lima kelompok,
yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat (Syi’ah sesat), dan Isma’iliyah.[34] Sedangkan
al-Asy’ari membagi Syi’ah menjadi tiga kelompok besar, yaitu: Syi’ah Ghaliyah,
yang terbagi lagi menjadi 15 kelompok; Syi’ah Imamiyah (Rafidhah), yang terbagi
menjadi 14 kelompok; dan Syi’ah Zaidiyah, yang terbagi menjadi 6 kelompok.
Joesoef
So’uyb dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta
Syi’ah membagi Syi’ah ke dalam beberapa sekte, yaitu Sekte Imamiyah
(yang kemudian pecah menjadi Imamiyyah Sittah dan Itsna ‘Asyariyah), Zaidiyah,
Kaisaniyah, Isma’iliyah, Qaramithah, Hasyasyin, dan Fathimiyah.
Sementara
itu, Abdul Mun’im al-Hafni dalam Ensiklopedia Golongan, Kelompok,
Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, mengklasifikasikan Syi’ah secara
rinci sebagai berikut
1.
Al-Ghaliyah: Bayaniyah, Janahiyah, Harbiyah,
Mughiriyah, Manshuriyah, Khithabiyah, Mu’ammariyah, Bazighiyah, ‘Umairiyah,
Mufadhaliyah, Hululiyah, Syar’iyah, Namiriyah, Saba’iyah, Mufawwidhah,
Dzamiyah, Gharabiyah, Hilmaniyah, Muqanna’iyah, Halajiyah, Isma’iliyah.
2.
Imamiyah: Qath’iyah, Kaisaniyah, Karbiyah, Rawandiyah,
Abu Muslimiyah, Rizamiyah, Harbiyah, Bailaqiyah, Mughiriyah, Husainiyah,
Kamiliyah, Muhammadiyah, Baqiriyah, Nawisiyah, Qaramithah, Mubarakiyah,
Syamithiyah, ‘Ammariyah (Futhahiyah), Zirariyah (Taimiyah), Waqifiyah
(Mamthurah-Musa’iyah-Mufadhdhaliyah), ‘Udzairah, Musawiyah, Hasyimiyah, Yunusiah,
Setaniyah.
3.
Zaidiyah: Jarudiyah, Sulaimaniyah, Shalihiyah,
Batriyah, Na’imiyah, Ya’qubiyah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ajaran dalam Syi'ah amatlah banyak dan
berbeda-beda, sehingga kita harus mencari dan mengetahui ajaran-ajaran, doktrin-doktrin,
dan tokoh-tokoh yang berdampak besar dalam golongan ini. Selain itu, di dalam
aliran Syi’ah ini terdapat banyak bagian-bagian dan perbedaan pendapat
dalam bertahuid. Yang ditandai dengan munculnya beberapa sekte seperti
Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Gulat.
Hal ini menuntut kita untuk selalu berhati-hati
serta mengantisipasi atas adanya doktrin keras yang mungkin berkembang, atau
bahkan telah begitu pesat dalam penyebarluasan ajarannya ke negara-negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di Indonesia. Salah satunya
adalah menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara para sahabat
dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin. Bahkan yang
lebih parah adalah yang memuja dan menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib bukan
manusia biasa, melainkan jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri.
Oleh karena itu, sebagai umat Islam kita harus
selalu cermat serta berhati-hati dalam meyakini dan mempelajari suatu aliran
baik itu Syi’ah maupun aliran pemikiran yang lain. Selain itu, jangan sampai
terlalu fanatik, karena fanatisme akan berdampak pada keburukan. Allah tidak
menyukai sesuatu yang berlebih-lebihan.
B.
Saran
Demikianlah makalah yang
kami berisikan aliran
Syi’ah ini. Makalah inipun tak luput dari
kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai. Adapun kiranya
terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada makalah
ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Rozak, M.Ag. dan Rosihin Anwar, M.Ag. Ilmu Kalam,Bandung: CV
Pustaka Setia, 2012
A.
Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007
Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, sejarah & pengantar Ilmu Tauhid/Kalam,
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009
Mulyono,
M.A. dan Drs. Bashori, Studi Ilmu Tauhid/Kalam, Malang: UIN-MALIKI
PRESS 2010
Imam
Muhammad Abu Zahrah, Aliran
Politik dan Aqidah dalam Islam, Ciputat:Logos Publishing House,
[2] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, sejarah & pengantar Ilmu Tauhid/Kalam,
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009. Hal. 90
[4] Imam
Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah
dalam Islam,
Ciputat:Logos Publishing House, hal 36
[6] Abdul Mun’eim al-Nemr, Sejarah dan Dokumen-dokumen
Syi’ah (T.tp.: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988), h. 34-35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar