Kamis, 21 Desember 2017

Makalah Aliran Jabariah



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan qadar Tuhan. Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggungjawab. Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya.

B.       Rumusan Masalah
1.         Pengertian jabariyah
2.         Sejarah munculnya aliran jabariyah
3.         Tokoh-tokoh dan doktrin ajarannya.
4.         Ciri-ciri aliran jabariyah
5.         Penolakan terhadap kaum jabariyah.

C.      Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah tersebut dapat diketahui bahwa tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui aliran jabariyah
2.      Untuk mengetahui latar belakang munculnya aliran jabariyah
3.      Untuk mengetahui tokoh dan doktrin-doktrinnya.
4.      Untuk mengetahui ciri-ciri aliran jabariyah
5.      Mengetahui bagaimana penolakan terhadap aliran jabariyah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Jabariyah
Kata jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti “memaksa”. Di dalam al munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa atau mengharuskan melakukan sesuatu. Dalam referensi Bahasa Inggris, Jabariyah disebut Fatalism atau Predestination. Yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadar Allah.[1] Kalau dikatakan Allah memiliki sifat Al-jabar (dalam betuk mubalaghah),artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan Al insan majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi bentuk jabariyah (dengan menambah ya nisbah), artinya adalah suatu kelompok atau aliran (isme).
Lebih lanjut Asy-Syahratsany menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah SWT. Dapat Kita simpulkan bahwa aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan qadar Tuhan. Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggungjawab.
Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkan-Nya.Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri.

B.       Sejarah Kemunculan Aliran Jabariyah
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai asal usul kemunculan dan perkembangan jabariyah,tampaknya perlu dijelaskna siapa sebenarnya yang melahirkan dan menyebarluaskan paham al-jabar serta dalam situasi apa paham ini muncul
Paham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham (terbunuh 194 H) yang kemudian disebarkan oleh Jahm Shafwan (125 H) dari kurasan. Dalam sejarah teologi islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan murji’ah. Ia duduk sebagai sekertaris Suraih bin Al-haris dan menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan bani Umayah.[2] Dalam perkembangannya, paham al-jabar ternyata tidak hanya dibawa oleh dua tokoh diatas. Masih banyak tokoh-tokoh yang berjasa dalam mengembangkan paham ini, diantaranya adalah Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirar.
Mengenai kemunculan paham al-jabar, para ahli sejarah pemikiran mengkaji nya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Diantara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia mengambarkan kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara yang memberikan pengaruh besar kedalam cara hidup mereka.[3] Ketergantungan mereka pada alam sahara yang ganas telah mencuatkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat arab tidak banyak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan nya. Mereka merasa dirinya lemah dan tidak kuasa menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalisme
Sebenarnya benih-benih paham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas, benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini:
1.      Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat tuhan tentang takdir
2.      Khalifah Umar bin Khattab pernah menagkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri”. Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberi dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan karna mencuri. Kedua, hukuman dera karena mengunakan dalil takdir Tuhan
3.      Khalifah Ali bin Abi Thalib seusai perang shiffin ditanya oleh seorang tua tentang kadar (ketentuan) Tuhan dan kaitannya tentang pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya, “apabila perjalanan (menuju perang sifil) itu terjadi dengan qodho dan qadhar, tidak ada pahal sebagai balasan nya.” Kemudian Ali menjelaskan bahwa qadha dan qadhar bukanlah paksaan Tuhan. Oleh karena itu, ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Ali selanjutnya menjelaskan, sekiranya qadha dan qadhar merupakan paksaan, batal lah pahala dan siksa, gugur pula lah makna janji dan anacaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik
4.      Pada pemerintah Dawlah Bani Umayyah, pandangan tentang al-jabar semakin mencuat kepermukaan. Abdullah bin Abbas melalui surat nya memberikan reaksi keras kepada pendudukan Syriah yang diduga berpaham “Jabariyah”
Mengenai asal usul serta akar kemunculan aliran Jabariyah ini tidak lepas dari beberapa faktor. Antara lain:      
1.      Faktor Politik
Pendapat Jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyah (660-750 M). Yakni di masa keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain politik yang licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah berdasarkan "Qadha dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata" dan tidak ada unsur manusia yang terlibat di dalamnya. Golongan Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan (Persia) pada saat munculnya golongan Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70 H.
Aliran ini dipelopori oleh Jahm bin Shafwan, aliran ini juga disebut Jahmiyah. Jahm bin Shafwan-lah yang mula-mula mengatakan bahwa manusia terpasung, tidak mempunyai kebebasan apapun, semua perbuatan manusia ditentukan Allah semata, tidak ada campur tangan manusia.  Paham Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan karena itu kaum Jabariyah disebut sebagai kaum Jahmiyah, Namun pendapat lain mengatakan bahwa orang yang pertama mempelopori paham jabariyah adalah Al-Ja'ad bin Dirham, dia juga disebut sebagai orang yang pertama kali menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan meniadakan sifat-sifat Allah. Disamping itu kaum Jahmiyah juga mengingkari adanya ru'ya (melihat Allah dengan mata kepala di akhirat). Meskipun kaum Qadariyah dan Jahmiyah sudah musnah namun ajarannya masih tetap dilestarikan. Karena kaum Mu'tazilah menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi pokok-pokok ajaran kedua kaum tersebut. Selanjutnya ditangan Mu'tazilah paham-paham tersebut segar kembali. Sehingga Imam As-Syafi'i menyebutnya Wasil, Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai yang seide itulah sebabnya kaum Mu'tazilah dinamakan juga kaum Qadariyah dan Jahmiyah.
Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa adanya intervensi Allah. Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk, dan pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di hari kiamat.  Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagai pengikut Mu'tazilah adalah Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah adalah Mu'tazilah, karena kaum Mu'tazilah berbeda pendapat dengan kaum Jahmiyah dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa). Kalau kaum Mu'tazilah menafikanya maka kaum Jahmiyah meyakininya.
2.      Faktor Geografi
 Para ahli sejarah pemikiran mengkaji melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam. Situasi demikian, bangsa Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keingianan mereka sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung kepada sikap Fatalisme.







C.      Tokoh-Tokoh Serta Doktrin Ajaran    
1.         Ja'd Bin Dirham.[4]
Ia adalah seorang hamba dari bani Hakam dan tinggal di Damsyik. Ia dibunuh pancung oleh Gubernur Kufah yaitu khalid bin Abdullah El-Qasri.
Doktrin pokok ajarannya:
a.       Al-quran adalah makhluk. Oleh karena itu dia baru, sesuatu yamg baru tidak dapat disifatkan kepada Allah.
b.      Allah tidak mempunyai sifat yang seruap dengan makhluk,seperti berbicara,melihat,mendengar.
c.       Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.   
2.    Jahm bin Shafwan.
 Ia bersal dari Persia dan meninggal tahun 128 H dalam suatu peperangan di Marwan dengan Bani Ummayah.
Doktrin-doktrinya
a.   Manusia tidak Mampu berbuat apa-apa. Manusia tidak mempunyai daya,tidak mempunyai kehendak sendiri,dan tidak mempunyai pilihan.
b.      Surga dan neraka tidak kekal, tidak ada yang kekal selain tuhan.
c.       Iman adalah makrifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini,pendapatnya sama dengan konsep kaum murji’ah.
d.      Tidak memberi sifat bagi Allah yang mana sifat itu mungkin diberikan pula kepada manusia, sebab itu berarti menyerupai Allah dalam sifat-sifat itu. Maka Allah tidak diberi sifat sebagai satu zat atau sesuatu yang hidup atau alim/mengetahui atau mempunyai keinginan, sebab manusia memiliki sifat-sifat yang demikian itu. Tetapi boleh Allah disifatkan dengan Qadir/kuasa, Pencipta, Pelaku, Menghidupkan, Mematikan sebab sifat-sifat itu hanya tertentu untuk Allah semata dan tidak dapat dimiliki oleh manusia.


D.      Ciri-Ciri Ajaran Jabariyah            
Diantara ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah :
1.      Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya
2.      Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
3.      Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
4.      Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
5.      Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6.      Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
7.      Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
8.      Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah

E.       Penolakan Terhadap Paham Jabariyah
Kelompok jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir hingga mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti akan terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan segala perbuatan mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir. Jika mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa tidak bertanggung jawab atasnya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah terjadi. 
Akidah yang rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa nafsunya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa semua itu telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya dan rela terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada manusia akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk melakukan usaha karena hal itu tidak mengubah takdir. 
Keyakinan semacam ini telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan usaha yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan berdoa. Semua itu menurut keyakinan mereka tidak ada gunanya karena segala apa yang ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha tidak berguna baginya. Lalu mereka meninggalkan amar ma'ruf dan tidak memperhatikan penegakan hukum. Karena kejahatan merupakan takdir yang pasti akan terjadi. Sehingga mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang dzalim dan kerusakan yang dilakukan oleh perusak, karena apa yang dilakukan mereka telah ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah. 
Para ulama Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan orang-orang sesat itu dengan pembatalan dan penolakan terhadap pendapat mereka. Menjelaskan bahwa keimanan kepada takdir tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa manusia mempunyai keinginan dan pilihan dalam perbuatannya serta kemampuannya untuk melaksanakannya. Hal ini ditunjukkan dengan dalil-dalil baik syariat maupun akal.










BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan qadar Tuhan.Paham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham (terbunuh 194 H) yang kemudian disebarkan oleh Jahm Shafwan (125 H) dari kurasan. Faktor penyabab munculnya paham ini adalah faktor politik dan geografis.

B.       Saran
Demikian makalah singkat ini penulis sampaikan. Masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penyampaiananya oleh karena itu penulis meminta kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya. Akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri.














DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasution, Teology Islam: Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan, UI pres, cet. V,jakarta, 1986,
Abdul Razak, M.Ag, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung : 2009
Abuddin Nata, 1995, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rosihon Anwar, dkk, 2006, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia


[1] Harun Nasution, Teology Islam: Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan, UI pres, cet. V,jakarta, 1986,hlm. 31.
[2] Harun Nasution, Teology Islam: Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan, UI pres, cet. V,jakarta, 1986,hlm. 33.
[3] Abuddin Nata, 1995, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 56
[4] Rosihon Anwar, dkk, 2006, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bencana Alam versi Hollywood

10 BENCANA ALAM VERSI HOLLYWOOD Bencana Alam adalah suatu peristiwa alam yang mengakibatkan dampak kerusakan yang besar bagi kehidupa...