BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Aliran
Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami bahwa segala perbuatan
yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas kehendak Tuhan
dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan qadar Tuhan. Jabariah adalah
pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh
tanggungjawab. Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan
bebas dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia
itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah
Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian jabariyah
2.
Sejarah munculnya aliran jabariyah
3.
Tokoh-tokoh dan doktrin ajarannya.
4.
Ciri-ciri aliran jabariyah
5.
Penolakan terhadap kaum jabariyah.
C.
Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah tersebut dapat
diketahui bahwa tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui aliran jabariyah
2. Untuk
mengetahui latar belakang munculnya aliran jabariyah
3. Untuk
mengetahui tokoh dan doktrin-doktrinnya.
4. Untuk
mengetahui ciri-ciri aliran jabariyah
5. Mengetahui
bagaimana penolakan terhadap aliran jabariyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Jabariyah
Kata
jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti “memaksa”. Di dalam al munjid
dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti
memaksa atau mengharuskan melakukan sesuatu. Dalam referensi Bahasa Inggris,
Jabariyah disebut Fatalism atau Predestination. Yaitu paham yang menyebutkan
bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadar
Allah.[1] Kalau
dikatakan Allah memiliki sifat Al-jabar (dalam betuk mubalaghah),artinya Allah
Maha Memaksa. Ungkapan Al insan majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti
bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama),
setelah ditarik menjadi bentuk jabariyah (dengan menambah ya nisbah), artinya
adalah suatu kelompok atau aliran (isme).
Lebih lanjut
Asy-Syahratsany menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan
manusia dalam arti sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah SWT. Dapat
Kita simpulkan bahwa aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang
memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur
keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan
qadar Tuhan. Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang
melepaskan diri dari seluruh tanggungjawab.
Maka Manusia
itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati
yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang
diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu
di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkan-Nya.Maka manusia itu sunyi
dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri.
B.
Sejarah
Kemunculan Aliran Jabariyah
Untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai asal usul kemunculan dan perkembangan
jabariyah,tampaknya perlu dijelaskna siapa sebenarnya yang melahirkan dan
menyebarluaskan paham al-jabar serta dalam situasi apa paham ini muncul
Paham
al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham (terbunuh 194 H) yang
kemudian disebarkan oleh Jahm Shafwan (125 H) dari kurasan. Dalam sejarah
teologi islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah
dalam kalangan murji’ah. Ia duduk sebagai sekertaris Suraih bin Al-haris dan
menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan bani Umayah.[2] Dalam
perkembangannya, paham al-jabar ternyata tidak hanya dibawa oleh dua tokoh
diatas. Masih banyak tokoh-tokoh yang berjasa dalam mengembangkan paham ini,
diantaranya adalah Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirar.
Mengenai
kemunculan paham al-jabar, para ahli sejarah pemikiran mengkaji nya melalui
pendekatan geokultural bangsa Arab. Diantara ahli yang dimaksud adalah Ahmad
Amin. Ia mengambarkan kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir
sahara yang memberikan pengaruh besar kedalam cara hidup mereka.[3] Ketergantungan
mereka pada alam sahara yang ganas telah mencuatkan sikap penyerahan diri
terhadap alam.
Lebih
lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat
arab tidak banyak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai
dengan keinginan nya. Mereka merasa dirinya lemah dan tidak kuasa menghadapi
kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak
alam. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalisme
Sebenarnya
benih-benih paham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas,
benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini:
1.
Suatu ketika Nabi menjumpai
sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir tuhan. Nabi melarang
mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan
penafsiran tentang ayat-ayat tuhan tentang takdir
2. Khalifah
Umar bin Khattab pernah menagkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika
diintrogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri”.
Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta
kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberi dua jenis hukuman kepada pencuri
itu. Pertama, hukuman potong tangan karna mencuri. Kedua, hukuman dera karena
mengunakan dalil takdir Tuhan
3. Khalifah Ali
bin Abi Thalib seusai perang shiffin ditanya oleh seorang tua tentang kadar
(ketentuan) Tuhan dan kaitannya tentang pahala dan siksa. Orang tua itu
bertanya, “apabila perjalanan (menuju perang sifil) itu terjadi dengan qodho
dan qadhar, tidak ada pahal sebagai balasan nya.” Kemudian Ali menjelaskan
bahwa qadha dan qadhar bukanlah paksaan Tuhan. Oleh karena itu, ada pahala dan
siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Ali selanjutnya menjelaskan,
sekiranya qadha dan qadhar merupakan paksaan, batal lah pahala dan siksa, gugur
pula lah makna janji dan anacaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas
pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik
4. Pada
pemerintah Dawlah Bani Umayyah, pandangan tentang al-jabar semakin mencuat
kepermukaan. Abdullah bin Abbas melalui surat nya memberikan reaksi keras
kepada pendudukan Syriah yang diduga berpaham “Jabariyah”
Mengenai
asal usul serta akar kemunculan aliran Jabariyah ini tidak lepas dari beberapa
faktor. Antara lain:
1. Faktor
Politik
Pendapat
Jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyah (660-750 M). Yakni di masa
keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah
dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan
Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini ia
bermain politik yang licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata
bahwa pengangkatannya sebagai kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah
berdasarkan "Qadha dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata"
dan tidak ada unsur manusia yang terlibat di dalamnya. Golongan Jabariyah
pertama kali muncul di Khurasan (Persia) pada saat munculnya golongan
Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70 H.
Aliran ini
dipelopori oleh Jahm bin Shafwan, aliran ini juga disebut Jahmiyah. Jahm bin
Shafwan-lah yang mula-mula mengatakan bahwa manusia terpasung, tidak mempunyai
kebebasan apapun, semua perbuatan manusia ditentukan Allah semata, tidak ada
campur tangan manusia. Paham Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin
Shafwan karena itu kaum Jabariyah disebut sebagai kaum Jahmiyah, Namun pendapat
lain mengatakan bahwa orang yang pertama mempelopori paham jabariyah adalah
Al-Ja'ad bin Dirham, dia juga disebut sebagai orang yang pertama kali
menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan meniadakan sifat-sifat Allah.
Disamping itu kaum Jahmiyah juga mengingkari adanya ru'ya (melihat Allah dengan
mata kepala di akhirat). Meskipun kaum Qadariyah dan Jahmiyah sudah musnah
namun ajarannya masih tetap dilestarikan. Karena kaum Mu'tazilah menjadi
pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi pokok-pokok ajaran kedua kaum
tersebut. Selanjutnya ditangan Mu'tazilah paham-paham tersebut segar kembali.
Sehingga Imam As-Syafi'i menyebutnya Wasil, Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai
tiga serangkai yang seide itulah sebabnya kaum Mu'tazilah dinamakan juga kaum
Qadariyah dan Jahmiyah.
Disebut
Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap
adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri
tanpa adanya intervensi Allah. Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari
paham penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk,
dan pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala
di hari kiamat. Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan
bahwa sebagai pengikut Mu'tazilah adalah Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah
adalah Mu'tazilah, karena kaum Mu'tazilah berbeda pendapat dengan kaum Jahmiyah
dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa). Kalau kaum Mu'tazilah
menafikanya maka kaum Jahmiyah meyakininya.
2. Faktor
Geografi
Para
ahli sejarah pemikiran mengkaji melalui pendekatan geokultural bangsa Arab.
Kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara memberikan pengaruh
besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang
ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam. Situasi demikian,
bangsa Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai
dengan keingianan mereka sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi
kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung kepada sikap
Fatalisme.
C. Tokoh-Tokoh Serta Doktrin
Ajaran
1.
Ja'd Bin Dirham.[4]
Ia adalah seorang hamba dari bani
Hakam dan tinggal di Damsyik. Ia dibunuh pancung oleh Gubernur Kufah yaitu
khalid bin Abdullah El-Qasri.
Doktrin pokok ajarannya:
a.
Al-quran adalah makhluk. Oleh karena
itu dia baru, sesuatu yamg baru tidak dapat disifatkan kepada Allah.
b. Allah tidak
mempunyai sifat yang seruap dengan makhluk,seperti berbicara,melihat,mendengar.
c. Manusia
terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
2. Jahm bin
Shafwan.
Ia bersal dari Persia dan
meninggal tahun 128 H dalam suatu peperangan di Marwan dengan Bani Ummayah.
Doktrin-doktrinya
a. Manusia tidak Mampu berbuat apa-apa.
Manusia tidak mempunyai daya,tidak mempunyai kehendak sendiri,dan tidak
mempunyai pilihan.
b. Surga dan
neraka tidak kekal, tidak ada yang kekal selain tuhan.
c. Iman adalah
makrifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini,pendapatnya sama dengan
konsep kaum murji’ah.
d. Tidak
memberi sifat bagi Allah yang mana sifat itu mungkin diberikan pula kepada
manusia, sebab itu berarti menyerupai Allah dalam sifat-sifat itu. Maka Allah
tidak diberi sifat sebagai satu zat atau sesuatu yang hidup atau
alim/mengetahui atau mempunyai keinginan, sebab manusia memiliki sifat-sifat
yang demikian itu. Tetapi boleh Allah disifatkan dengan Qadir/kuasa, Pencipta,
Pelaku, Menghidupkan, Mematikan sebab sifat-sifat itu hanya tertentu untuk
Allah semata dan tidak dapat dimiliki oleh manusia.
D. Ciri-Ciri Ajaran
Jabariyah
Diantara ciri-ciri ajaran Jabariyah
adalah :
1.
Bahwa manusia tidak mempunyai
kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau
baik semata Allah semata yang menentukannya
2.
Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu
apapun sebelum terjadi.
3.
Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
4.
Iman cukup dalam hati saja tanpa
harus dilafadhkan.
5.
Bahwa Allah tidak mempunyai sifat
yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6.
Bahwa surga dan neraka tidak kekal,
dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi
hanyalah Allah semata.
7.
Bahwa Allah tidak dapat dilihat di
surga oleh penduduk surga.
8.
Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah
E.
Penolakan
Terhadap Paham Jabariyah
Kelompok
jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir
hingga mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia dan mengingkari
bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang
ditakdirkan kepada mereka pasti akan terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia
terpaksa melakukan segala perbuatan mereka dan manusia tidak mempunyai
kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia seperti bulu yang
ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah
kepada takdir. Jika mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan
syariat, mereka merasa tidak bertanggung jawab atasnya dan mereka berhujjah
bahwa takdir telah terjadi.
Akidah yang
rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia
untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa
nafsunya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa
semua itu telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya
dan rela terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada
manusia akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk melakukan usaha
karena hal itu tidak mengubah takdir.
Keyakinan
semacam ini telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan
usaha yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan
berdoa. Semua itu menurut keyakinan mereka tidak ada gunanya karena segala apa
yang ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha tidak berguna
baginya. Lalu mereka meninggalkan amar ma'ruf dan tidak memperhatikan penegakan
hukum. Karena kejahatan merupakan takdir yang pasti akan terjadi. Sehingga
mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang dzalim dan kerusakan yang dilakukan
oleh perusak, karena apa yang dilakukan mereka telah ditakdirkan dan
dikehendaki oleh Allah.
Para ulama
Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan orang-orang sesat itu dengan
pembatalan dan penolakan terhadap pendapat mereka. Menjelaskan bahwa keimanan
kepada takdir tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa manusia mempunyai
keinginan dan pilihan dalam perbuatannya serta kemampuannya untuk
melaksanakannya. Hal ini ditunjukkan dengan dalil-dalil baik syariat maupun
akal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang
memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur
keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan
qadar Tuhan.Paham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham
(terbunuh 194 H) yang kemudian disebarkan oleh Jahm Shafwan (125 H) dari
kurasan. Faktor penyabab munculnya paham ini adalah faktor politik dan
geografis.
B.
Saran
Demikian makalah singkat ini penulis sampaikan. Masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan dalam penyampaiananya oleh karena itu penulis meminta
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan makalah
selanjutnya. Akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Teology Islam: Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan, UI pres, cet.
V,jakarta, 1986,
Abdul Razak, M.Ag, Ilmu
Kalam, Pustaka Setia, Bandung : 2009
Abuddin
Nata, 1995, Ilmu Kalam, Filsafat dan
Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rosihon
Anwar, dkk, 2006, Ilmu Kalam,
Bandung: Pustaka Setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar