Kamis, 21 Desember 2017

Makalah Syi'ah



BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai syiah ataupun aliran syiah, kita tidak akan terlepas dengan mengaitkan hal tersebut dengan agama islam. Di kalangan awam masyarakat islam menganggap syiah adalah eksistensi yang tidak jelas, tidak diketahui apa hakikatnya, bagaimana berkembang, tidak melihat bagaimana sejarahnya, dan tidak dapat diprediksi bagaimana di kemudian hari. Mereka selalu mengaitkan bahwa syiah adalah islam. Padahal islam dan syiah sangat berbeda sekali, terutama dalam hal aqidahnya. bagaikan minyak dan air yang tidak mungkin dapat di satukan lagi.
Syi’ah dalam sejarah pemikiran Islam merupakan sebuah aliran yang muncul dikarenakan politik dan seterusnya berkembang menjadi aliran teologi dalam Islam. Sebagai salah satu aliran politik, bibitnya sudah ada sejak timbulnya persoalan siapa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah. Dalam persoalan ini Syi’ah berpendapat bahwa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah adalah keluarga sedarah yang dekat dengan Nabi, yaitu Ali bin Abi Thalib dan harus dilanjutkan oleh anaknya, Hasan dan Husen, serta keturunan-keturunannya. Syi’ah muncul sebagai salah satu aliran politik dalam Islam baru dikenal sejak timbulnya peristiwa tahkim (arbitrase). Sementara Syi’ah dikenal sebagai sebuah aliran teologi dalam Islam, yaitu ketika mereka mencoba mengkaitkan iman dan kafir dengan Imam, atau dengan kata lain ketaatan pada seorang Imam merupakan tolak ukur beriman tidaknya seseorang, di samping paham mereka bahwa Imam merupakan wakil Tuhan serta mempunyai sifat ketuhanan. Mengenai kemunculan syiah dalam sejarah terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Ada yang mengatakan syiah muncul pada masa khalifah Utsman bin Affan, ada juga yang mengatakan syiah muncul ketika peperangan siffin terjadi yang kemudian terpecah menjadi dua kelompok salah satunya adalah yang mendukung khalifah Ali bin Abi Thalib.
Sebelum masuk jauh ke dalam pembagian Syi’ah, maka ada baiknya kita usut terlebih dahulu asal-muasal lahirnya madzhab terbesar kedua di dunia setelah Ahlus Sunnah ini. Ada cukup banyak literatur yang secara subjektiv menuduh bahwa Syi’ah berasal dari tokoh Abdullah bin Saba’ yang membawa teologi atau pengaruh Yahudi ke dalam tubuh Syi’ah sendiri. Hal ini tentu akan sangat riskan terhadap pemahaman tentang ajaran ini ke depannya. Sebab, banyak kalangan yang menilai bahwa Syi’ah adalah bagian dari Yahudi.

B.            Rumusan Masalah
1.           Apa pengertian Syi’ah itu?
2.           Bagaimana latar belakang kemunculan aliran Syi’ah?
3.           Siapa sajakah tokoh-tokoh Syi’ah?
4.           Apa saja sekte-sekte dan ajaran aliran Syi’ah?
5.           Bagaimanakah refleksi aliran Syi’ah untuk konteks kekinian?

C.           Tujuan
1.      Untuk mengetahui bagaimana latar belakang kemunculan aliran Syi’ah
2.      Untuk mengetahui pokok-pokok ajaran beserta tokoh-tokohnya
3.      Untuk mengetahui dan menjelaskan sekte-sekte dan ajaran aliran Syi’ah
4.      Untuk mengetahui dan menjelaskan refleksi aliran Syi’ah untuk konteks kekinian





BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Syi'ah
Syi’ah ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah. Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah Syi'i menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.
Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī . "Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun)
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucunya sepeninggal beliau.[1] Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad SAW, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad SAW, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad SAW, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.[2]
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.

B.       Sejarah munculnya Syi'ah
Mengenai kemunculan syi’ah dalam sejarah terdapat perbedaan dikalangan ahli. Menurut Abu Zahrah, syi’ah mulai muncul pasda masa akhir pemerintahan Usman bin Affaan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pewmerintahan Ali bin Abi Thalib, adapun menurut Watt, syi’ah baru benar-benar. Muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbritase yang ditawarkan Mu’awiyah. Pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua. Satu kelompok mendukung sikap Ali (Syi’ah) dan kelompok mendak sikap Ali (Khawarij).[3]
Kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syi’ah berkaitan dengn masalah penganti (Khilafah) Nabi SAW. Mereka menlak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khathtab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib  yang  berhak mengantikan Nabi SAW. Kepemimpinan Ali dalam pandangan syi’ah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan Nabi SAW, pada masa hidupnya. Pada awal kenabian ketika Muhammad SAW diperintahkan menya,paikan dakwah ke kerabatnya, yang pertama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada saat itu mengatakan bahwa orang yang pertama menemui ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan orang yang luar biasa besar.[4]
Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir, dalam perjalanan dari Mekkah ke Madinah di suatu padang pasir yang bernama Ghadir Khumm. Nabi memilih Ali sebagai pengantinya dihadapan massa yang menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai pemimpin umum umat (walyat-i ‘ammali), tetapi juga menjadikna Ali sebagaimana Nabi sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka. Namun realitasnya berbicara lain.
Berlawanan dengan harpan mereka, ketika nabi wafata dan jasadnya belum dikuburkan, ada kelompok lain yang pergi ke masjid untuk menentukan pemimpin yang baru karena hilangnya pemimpin yang secara tiba-tiba, sedangkan anggota keluarga nabi dan  beberapa sahabat masih sibuk dengan  persiapan upacara pemakaman Nabi. Kelompok inilah yang kemudian menjadai mayoritas bertindak lebih jauh dan dengan sangat tergesa-gesa memilih pemimpin yang baru dengan alasan kesejahteraan umat dann memcahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan itu tanpa berunding dahulu dengan ahlul bait, kerabat, atau pun sahabat yang pada saat itu masih mengurusi pemakaman. Mereka tidak memberi tahu sedikitpun. Dengan demikian, kawan-kawan Ali dihdapkan pada suatu hal yang sudah tak bias berubah lagi (faith accomply).

C.       Tokoh-tokoh Syi’ah
Dalam pertimbangan Syi’ah, selain terdapat tokoh-tokoh populer seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali, Husain bin ‘Ali, terdapat pula dua tokoh Ahlulbait yang mempunyai pengaruh dan andil yang besar dalam pengembangan paham Syi’ah, yaitu Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin dan Ja’far al-Shadiq. Kedua tokoh ini dikenal sebagai orang-orang besar pada zamannya. Pemikiran Ja’far al-Shadiq bahkan dianggap sebagai cikal bakal ilmu fiqh dan ushul fiqh, karena keempat tokoh utama fiqh Islam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, secara langsung atau tidak langsung pernah menimba ilmu darinya. Oleh karena itu, tidak heran bila kemudian Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas al-Azhar, Mesir, mengeluarkan fatwa yang kontroversial di kalangan pengikut Sunnah (Ahlussunnah.). Mahmud Syaltut memfatwakan bolehnya setiap orang menganut fiqh Zaidi atau fiqh Ja’fari Itsna ‘Asyariyah.
Adapun Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin terkenal ahli di bidang tafsir dan fiqh. Pada usia yang relatif muda, Zaid bin ‘Ali telah dikenal sebagai salah seorang tokoh Ahlulbait yang menonjol. Salah satu karya yang ia hasilkan adalah kitab al-Majmû’ (Himpunan/Kumpulan) dalam bidang fiqh. Juga karya lainnya mengenai tafsir, fiqh, imamah, dan haji.[5]

D.      Ajaran-ajaran Syi’ah
1.      Ahlulbait.
Secara harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat dekat. Dalam sejarah Islam, istilah itu secara khusus dimaksudkan kepada keluarga atau kerabat Nabi Muhammad saw. Ada tiga bentuk pengertian Ahlulbait. Pertama, mencakup istri-istri Nabi Muhammad saw dan seluruh Bani Hasyim. Kedua, hanya Bani Hasyim. Ketiga, terbatas hanya pada Nabi sendiri, ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan imam-imam dari keturunan ‘Ali bin Abi Thalib. Dalam Syi’ah bentuk terakhirlah yang lebih populer.[6]
2.      Al-Badâ’.
Dari segi bahasa, badâ’ berarti tampak. Doktrin al-badâ’adalah keyakinan bahwa Allah swt mampu mengubah suatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkan-Nya dengan peraturan atau keputusan baru. Menurut Syi’ah, perubahan keputusan Allah itu bukan karena Allah baru mengetahui suatu maslahat, yang sebelumnya tidak diketahui oleh-Nya (seperti yang sering dianggap oleh berbagai pihak). Dalam Syi’ah keyakinan semacam ini termasuk kufur. Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan,“Barangsiapa yang mengatakan Allah swt baru mengetahui sesuatu yang tidak diketahui-Nya, dan karenanya Ia menyesal, maka orang itu bagi kami telah kafir kepada Allah swt.” Menurut Syi’ah, perubahan itu karena adanya maslahat tertentu yang menyebabkan Allah swt memutuskan suatu perkara sesuai dengan situasi dan kondisi pada zamannya. Misalnya, keputusan Allah mengganti Isma’il as dengan domba, padahal sebelumnya Ia memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk menyembelih Isma’il as.
3.      Asyura.
Asyura berasal dari kata ‘asyarah, yang berarti sepuluh. Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram yang diperingati kaum Syi’ah sebagai hari berkabung umum untuk memperingati wafatnya Imam Husain bin ‘Ali dan keluarganya di tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tahun 61 H di Karbala, Irak. Pada upacara peringatan asyura tersebut, selain mengenang perjuangan Husain bin ‘Ali dalam menegakkan kebenaran, orang-orang Syi’ah juga membaca salawat bagi Nabi saw dan keluarganya, mengutuk pelaku pembunuhan terhadap Husain dan keluarganya, serta memperagakan berbagai aksi (seperti memukul-mukul dada dan mengusung-usung peti mayat) sebagai lambang kesedihan terhadap wafatnya Husain bin ‘Ali. Di Indonesia, upacara asyurajuga dilakukan di berbagai daerah seperti di Bengkulu dan Padang Pariaman, Sumatera Barat, dalam bentuk arak-arakan tabut
4.      Imamah (kepemimpinan).
Imamah adalah keyakinan bahwa setelah Nabi saw wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi atau risalah Nabi. Atau, dalam pengertian Ali Syari’ati, adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan. Dalam Syi’ah, kepemimpinan itu mencakup persoalan-persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat. Pada umumnya, dalam Syi’ah, kecuali Syi’ah Zaidiyah, penentuan imam bukan berdasarkan kesepakatan atau pilihan umat, tetapi berdasarkan wasiat atau penunjukan oleh imam sebelumnya atau oleh Rasulullah langsung, yang lazim disebutnash.
5.      ‘Ishmah.
Dari segi bahasa, ‘ishmah adalah bentuk mashdar dari kata‘ashama yang berarti memelihara atau menjaga. ‘Ishmah ialah kepercayaan bahwa para imam itu, termasuk Nabi Muhammad, telah dijamin oleh Allah dari segala bentuk perbuatan salah atau lupa.  Ali Syari’ati mendefinisikan ‘ishmah sebagai prinsip yang menyatakan bahwa pemimpin suatu komunitas atau masyarakat—yakni, orang yang memegang kendali nasib di tangannya, orang yang diberi amanat kepemimpinan oleh orang banyak—mestilah bebas dari kejahatan dan kelemahan.
6.      Mahdawiyah.
Berasal dari kata mahdi, yang berarti keyakinan akan datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat itu disebut Imam Mahdi. Dalam Syi’ah, figur Imam Mahdi jelas sekali. Ia adalah salah seorang dari imam-imam yang mereka yakini. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, misalnya, memiliki keyakinan bahwa Muhammad bin Hasan al-Askari (Muhammad al-Muntazhar) adalah Imam Mahdi. Di samping itu, Imam Mahdi ini diyakini masih hidup sampai sekarang, hanya saja manusia biasa tidak dapat menjangkaunya, dan nanti di akhir zaman ia akan muncul kembali dengan membawa keadilan bagi seluruh masyarakat dunia.
7.      Marja’iyyah atau Wilâyah al-Faqîh.
Kata marja’iyyah berasal dari katamarja’ yang artinya tempat kembalinya sesuatu. Sedangkan kata wilâyah al-faqîh terdiri dari dua kata:  wilâyah  berarti kekuasaan  atau kepemimpinan; danfaqîh berarti ahli fiqh atau ahli hukum Islam. Wilâyah al-faqîh  mempunyai arti kekuasaan atau kepemimpinan  para fuqaha.
8.      Raj’ah.
Kata raj’ah berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali.  Raj’ah adalah keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah swt yang paling saleh dan sejumlah hamba Allah yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah swt di muka bumi, bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi. Sementara Syaikh Abdul Mun’eim al-Nemr mendefinisikan raj’ah sebagai suatu prinsip atau akidah Syi’ah, yang maksudnya ialah bahwa sebagian manusiaakan dihidupkan kembali setelah mati karena itulah kehendak dan hikmat Allah, setelah itu dimatikan kembali. Kemudian di hari kebangkitan kembali bersama makhluk lain seluruhnya. Tujuan dari prinsip Syi’ah seperti ini adalah untuk memenuhi selera dan keinginan memerintah. Lalu kemudian untuk membalas dendam kepada orang-orang yang merebut kepemimpinan ‘Ali.
9.      Taqiyah. Dari segi bahasa,
 taqiyah berasal dari kata taqiya atau ittaqâyang artinya takut.  Taqiyah  adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir  akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hatian ini terkandung sikap penyembunyian identitas dan ketidakterusterangan.  Perilaku taqiyah ini boleh dilakukan, bahkan hukumnya wajib dan merupakan  salah satu dasar mazhab Syi’ah.
10.  Tawassul.
Adalah memohon sesuatu kepada Allah dengan menyebut pribadi atau kedudukan seorang Nabi, imam atau bahkan seorang wali suaya doanya tersebut cepat dikabulkan Allah swt. Dalam Syi’ah, tawassulmerupakan salah satu tradisi keagamaan yang sulit dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa hampir setiap doa mereka selalu terselip unsur tawassul, tetapi biasanya tawassul dalam Syi’ah terbatas pada pribadi Nabi saw atau imam-imam dari Ahlulbait. Dalam doa-doa mereka selalu dijumpai ungkapan-ungkapan seperti “Yâ Fâthimah isyfa’î ‘indallâh” (wahai Fathimah, mohonkanlah syafaat bagiku kepada Allah), dsb.
11.  Tawallî dan tabarrî.
Kata tawallî berasal dari kata tawallâ fulânan yang artinya mengangkat seseorang sebagai pemimpinnya. Adapun tabarrî  berasal dari kata tabarra’a ‘an fulân yang artinya melepaskan diri atau menjauhkan diri dari seseorang. Kedua sikap ini dianut pemeluk-pemeluk Syi’ah berdasarkan beberapa ayat dan hadis yang mereka pahami sebagai perintah untuk tawallî kepada Ahlulbait dan tabarrî dari musuh-musuhnya. Misalnya, hadis Nabi mengenai ‘Ali bin Abi Thalib yang berbunyi: “Barangsiapa yang menganggap aku ini adalah pemimpinnya maka hendaklah ia menjadikan ‘Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah belalah orang yang membela Ali, binasakanlah orang yang menghina ‘Ali dan lindungilah orang yang melindungi ‘Ali.” (H.R. Ahmad bin Hanbal)







E.       Sekte-sekte Syi’ah
Para ahli umumnya membagi sekte Syi’ah ke dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Ghulat.[7] Golongan Imamiyah pecah menjadi beberapa golongan. Yang terbesar adalah golongan Itsna ‘Asyariyah atau Syi’ah Duabelas. Golongan lainnya adalah golongan Isma’iliyah.
 Selain itu terdapat juga pendapat lain. Misalnya dari al-Syahrastani. Beliau membagi Syi’ah ke dalam lima kelompok, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat (Syi’ah sesat), dan Isma’iliyah.[34] Sedangkan al-Asy’ari membagi Syi’ah menjadi tiga kelompok besar, yaitu: Syi’ah Ghaliyah, yang terbagi lagi menjadi 15 kelompok; Syi’ah Imamiyah (Rafidhah), yang terbagi menjadi 14 kelompok; dan Syi’ah Zaidiyah, yang terbagi menjadi 6 kelompok.
Joesoef So’uyb dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah membagi Syi’ah ke dalam beberapa sekte, yaitu Sekte Imamiyah (yang kemudian pecah menjadi Imamiyyah Sittah dan Itsna ‘Asyariyah), Zaidiyah, Kaisaniyah, Isma’iliyah, Qaramithah, Hasyasyin, dan Fathimiyah.
Sementara itu, Abdul Mun’im al-Hafni dalam Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, mengklasifikasikan Syi’ah secara rinci sebagai berikut
1.      Al-Ghaliyah: Bayaniyah, Janahiyah, Harbiyah, Mughiriyah, Manshuriyah, Khithabiyah, Mu’ammariyah, Bazighiyah, ‘Umairiyah, Mufadhaliyah, Hululiyah, Syar’iyah, Namiriyah, Saba’iyah, Mufawwidhah, Dzamiyah, Gharabiyah, Hilmaniyah, Muqanna’iyah, Halajiyah, Isma’iliyah.
2.      Imamiyah: Qath’iyah, Kaisaniyah, Karbiyah, Rawandiyah, Abu Muslimiyah, Rizamiyah, Harbiyah, Bailaqiyah, Mughiriyah, Husainiyah, Kamiliyah, Muhammadiyah, Baqiriyah, Nawisiyah, Qaramithah, Mubarakiyah, Syamithiyah, ‘Ammariyah (Futhahiyah), Zirariyah (Taimiyah), Waqifiyah (Mamthurah-Musa’iyah-Mufadhdhaliyah), ‘Udzairah, Musawiyah, Hasyimiyah, Yunusiah, Setaniyah.
3.      Zaidiyah: Jarudiyah, Sulaimaniyah, Shalihiyah, Batriyah, Na’imiyah, Ya’qubiyah.


















BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Ajaran dalam Syi'ah amatlah banyak dan berbeda-beda, sehingga kita harus mencari dan mengetahui ajaran-ajaran, doktrin-doktrin, dan tokoh-tokoh yang berdampak besar dalam golongan ini. Selain itu, di dalam aliran Syi’ah ini terdapat banyak  bagian-bagian dan perbedaan pendapat dalam bertahuid. Yang ditandai dengan munculnya beberapa sekte seperti Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Gulat.
Hal ini menuntut kita untuk selalu berhati-hati serta mengantisipasi atas adanya doktrin keras yang mungkin berkembang, atau bahkan telah begitu pesat dalam penyebarluasan ajarannya ke negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di Indonesia. Salah satunya adalah menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin. Bahkan yang lebih parah adalah yang memuja dan menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib bukan manusia biasa, melainkan jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri.
Oleh karena itu, sebagai umat Islam kita harus selalu cermat serta berhati-hati dalam meyakini dan mempelajari suatu aliran baik itu Syi’ah maupun aliran pemikiran yang lain. Selain itu, jangan sampai terlalu fanatik, karena fanatisme akan berdampak pada keburukan. Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebih-lebihan.

B.            Saran
Demikianlah makalah yang kami berisikan aliran Syi’ah ini. Makalah inipun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada makalah ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak, M.Ag. dan Rosihin Anwar, M.Ag. Ilmu Kalam,Bandung: CV Pustaka Setia, 2012
A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, sejarah & pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009
Mulyono, M.A. dan Drs. Bashori, Studi Ilmu Tauhid/Kalam, Malang: UIN-MALIKI PRESS 2010
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Ciputat:Logos Publishing House,








[1]  Rozak, Abdul,mag, Ilmu Kalam, 2001, Pustaka setia ; Bandung. Hal. 76
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, sejarah & pengantar Ilmu Tauhid/Kalam,   Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009. Hal. 90
[3] Rozak, Abdul,mag, Ilmu Kalam, 2001, Pustaka setia ; Bandung. Hal. 80
[4] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Ciputat:Logos Publishing House, hal 36
[5] Abdul Rozak, M.Ag. dan Rosihin Anwar, M.Ag. Ilmu Kalam,Bandung: CV Pustaka Setia, 2012
[6] Abdul Mun’eim al-Nemr, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah (T.tp.: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988), h. 34-35.
[7] Aceh, Abubakar. Perbandingan Mazhab Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam. Solo: Ramadhani, t.t.

Bencana Alam versi Hollywood

10 BENCANA ALAM VERSI HOLLYWOOD Bencana Alam adalah suatu peristiwa alam yang mengakibatkan dampak kerusakan yang besar bagi kehidupa...