Kerajaan
Linge Gayo
(Umah Pitu Ruang Linge)
Kata linge terdiri dari
dua kata; "ling" dan "nge". "Ling" dalam bahasa
Indonesia artinya adalah suara, sedangkan "nge" dalam bahasa
Indonesia artinya adalah nya, Jadi, apabila digabungkan antara dua kata tersebut
adalah suaranya. Yang maknanya adalah suaranya ada, tetapi manusia-nya tidak
jelas, begitulah makna Kerjaan Linge sekarang ini. Artinya suara orang atau
masyarakat setempat bahwa mengatakan Kerjaan Linge itu ada, tetapi bukti-bukti peninggalannya
tidak ada. Kalaupun ada, itu semua berarti hanya sedikit dari yang diharapkan.
Latar Belakang Kerajaan Linge
Kerajaan Linge adalah sebuah Kerajaan kuno di
Aceh.Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya
adalah Adi Genali. Adi Genali (Kik Betul) mempunyai empat orang anak yaitu:
Empu Beru, Sibayak Linge, Merah Johan, Reje Linge I mewariskan kepada
keturunannya sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang berasal dari
sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (1012-1038 M). Pada saat Adi Genali membangun Negeri Linge,
maka pada saat bersamaan juga diberikan pusaka tersebut kepadanya yang
diberikan gelar "Cik Serule (Paman Serule)". Nama serule disini
adalah salah satu perkampungan yang ada di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh
Tengah. Pusaka ini diberikan saat Adi Genali membangun Negeri Linge pertama di
Buntul Linge bersama dengan seorang perdana menteri yang bernama Syekh
Sirajuddin yang bergelar Cik Serule". Menjadi suatu perselisihan dan
kebinggungan yang mendalam dari diri saya yang timbul, disebabkan oleh
banyaknya perbedaan-perbedaan pendapat dari semua apa yang telah saya dapatkan
dan saya baca. Di situs lain dikatakan
juga oleh Fajri, Kokasih Bakar dan Uwein mengatakan bahwa Reje Linge itu
merupakan kekeberen istilah gayo dan berita rakyat dalam bahasa Indonesia, yang
langsung mereka wawancarai dengan A. Djamil seorang Sejarawan Gayô. Dalam
kekeberen ini diceritakan 2 Kerajaan yang merupakan asal dari Gayô yaitu
Kerajaan Lingë dan Kerajaan Malik Ishaq. Kerajaan Lingë berdiri pada abad ke
10, sedangkan Kerajaan Malik Ishaq pada saat adanya Kerajaan Pérlak (abad ke 8
s.d. 12 M) dan Sri Wijaya (abad ke 6 s.d. 13, sedangkan masa kejatuhannya pada
abad 12 M atau 13 M).Kerajaan Lingë berasal dari Kerajaan Rum atau Turki, asal
kata Lingë berasal dari bahasa Gayô yang berarti Léng Ngé yang artinya suara
yang terdengar. Raja Lingë I ini beragama Islam bernama Réjé Genali atau Tengku
Kawe Tepat (Pancing yang lurus dalam bahasa Acih).Agama Islam yang dianut bisa
dililhat dari bendera Kerajaan Lingë tersebut, dimana ada Syahadat di atas
benderanya dan di bawahnya bernama 4 sahabat nabi, sedangkan warnanya belum
diketahui karena sudah kusam, antara merah dan putih (bendera ini masih bisa
dilihat dan disimpan di daerah Karô, sebagai pusaka dari anak salah satu Raja
Lingë yang pergi ke Karô).
Raja Lingë mempunyai 4 anak, 3 laki-laki dan
satu perempuan. seorang perempuan bernama Datu Beru, dan ketiga anak
laki-lakinya bernama Djohan Syah, Ali Syah dan Malam Syah.Ketika besar khusus
anak laki-lakinya akan disunat seperti halnya ajaran Islam, anak yang ke-3
bernama Ali Syah tidak bisa disunat karena kemaluannya tidak dimakan pisau. Hal
ini tentu saja membuat malu. Hal ini menyebabkan ia meminta ijin kepada Raja
Lingë untuk pergi ke daerah Karô. Walau pada mulanya Raja tidak mengijinkan
namun akhirnya dengan berat hati sebelum kepergian mereka dibagikan pusaka
untuk anak laki-lakinya yaitu Kôrô Gônôk, Bawar, Tumak Mujangut, Mérnu dan élém
(Bendera Pusaka).Sedangkan Datu Béru memegang kunci khajanah Kerajaan Lingë.
Ali Syah, anak ke-3 Raja Lingë I
Ali Syah bersama rombongan berangkat menuju
Karô menuju daerah yang disebut Blang Munté. Pada daerah tersebut Ali Syah
bersama rombongannya memutuskan untuk berhenti dan menetapkan bahwa tempat itu
sebagai tempat ia terakhir bersama rombongan. Tinggallah Ali Syah seorang diri
selama berbulan-bulan tinggal disitu, dalam sebuah kesempatan ketika kemudian
mencari ikan di Uih Kul Renul, bertemu dengan gadis dan bujang sedang menyekot
(mencari ika) yang kemdian diketahui berasal dari negeri Pak-Pak. kemudian
menjadi teman dan bergaul, akhirnya menikah dengan beberu pak-pak tersebut
sampai berketurunan.Ali Syah pun akhirnya belajar bahasa dan hidup disana. Terdapat
sebuah kisah yang menarik yaitu ketika suatu saat Bélah dari Ali Syah yang
sudah tua tersebut akan pergi bersawah yang sebelumnya diadakan kenduri
(dinamai kenduri Mergang merdem). Acara kenduri tersebut diadakan agak jauh
dari tempat Ali Syah tinggal sehingga keturunannya atau cucunya ditugaskan
untuk memberikan nasi beserta ikan kepadanya. Ternyata ketika sampai di sana
didapatinya ikannya hanya tinggal tulang belulang saja karena telah dihabisi
oleh anak cucunya, mendengar ini ia amat murka dan mengutuk semua (kélém-lémén)
anak cucu keturunannya menjadi batu semua, semua nya masih bisa dilihat
buktinya disana di Blang Munté perbatasan Karô dan Alas.Namun, ternyata ada
yang lolos dari kutukkannya seorang aman mayak (pengantin Pria), inén mayak
(Pengantin Wanita) yang sedang hamil dan satu lagi adiknnya inén mayak
tersebut. Melihat tersebut Aman Mayak pergi meninggalkan daerah tersebut untuk
menceritakan hal ini kepada Raja Lingë.Mendengar hal tersebut segera dikirimkan
rombongan kesana untuk mencari tahu atau menguburkan bila ada yang meninggal. Setelah
lantas diketemukan pohon kelapa yang menandakan ada kampông, yang disebut
dengan Kampung Bakal, mereka ingin kesana karena lapar.Saat itu di pinggir
sungai tersebut terlihat Giôngén (Kijang) yang sedang minum, mereka mecoba
menangkap Giôngén tersebut untuk kemudian membantu mereka berdua melewati
sungai tersebut. Dalam suatu ketika mereka hampir terlepas dari pegangan kepada
Giôngen tersebut, sehingga Inen Mayak yang sedang mengandung tersebut
mengucapkan dalam bahasa Karô ‘ngadi ko lao’, atau ‘berhentilah kau air’,
sehingga sampai sekarang ada pusaran air disana. Dan karena ada kejadian inilah
orang-orang Gayô disana dilarang memakan daging Giôngén. Sesampai diseberang
sungai Inén Mayak tersebut melahirkan, karena kelelahan iya dibawa arus air
sungai (Wih Kul) tersebut. Sedangkan anaknya diselamatkan oleh adiknya di
pinggir sungai.Pada saat anak tersebut kehausan datanglah seekor Kerbau atau
Kôrô Jégéd, yang kemudian adiknya membiarkan anak kakaknya untuk menyusu
terhadap kerbau tersebut. Akhirnya mereka berdua ditangkap oleh orang kampông
tersebut, saat itu mereka sedang mencari Kôrô jégéd (Kerbau berwarna putih
Krim) punya Raja yang hilang.Ketika menemukan kerbaunya sedang menyusui seorang
anak manusia maka orang-orang Kampung tersebut menganggap bahwa Kerbau keramat
tersebut telah melahirkan. Mereka lantas melaporkan kepada Raja Bakal, lantas
oleh Sang Raja anak tersebut dianggp sebagai penerusnya, karena ia sampi saat
itu tidak mempunyai seorang anakpun. Adik dari Inen Mayak tersebut di tahan
sekaligus memelihara anak kakaknya yang sudah tiada. Dalam keadaan tersebut
sampai rombongan Réjé Lingë. Ketika sampai di kampungnya Aman Mayak mereka
sudah tidak menemukan siapa-siapa lagi, maka mereka pun berusaha mencari istri
dan adik istri dari Aman Mayak tersebut.Mereka pun akhirnya sampai di
perkampungan Bakal tersebut, lantas merekapun mendengar berita tentang
keganjilan-keganjilan yang terjadi saat itu. Mereka memutuskan untuk dapat
menunggu lebih lama untuk mencari informasi.Sampai akhirnya bertemu dengan adik
dari istrinya dan bercerita tentang desas-desus tersebut serta kebenaran bahwa
sesungguhnya anak dari anak Kôrô jégéd sebagai anak Aman Mayak atau keturunan
Raja Lingë. Mengetahui hal tersebut rombongan dari Lingë menghadap Réjé Bakal,
menyampaikan tujuan ke kampông di sini, kemudian menceritakan bahwa anaknya
Kôrô Jégéd itu adalah anaknya atau cucunya Réjé Lingë, bahkan mengatakan ada
saksi dari adiknnya istrinya. Untuk mengambil keputusan maka diambil keputusan
akan ada perkelahian antara Pang untuk bersitengkahan (bacok-bacokan). Pang
Sikucil, dan Pang Réjé Bakal bertengkah, panglima Réjé Bakal selalu bergeser
bila ditengkah. Sedangakan Pang Sikucil dari Lingë tidak bergeser sedikit
pun.Zaman terebut setelah bertengkah maka bersesebutan antara Réjé Bakal dan
Réjé Lingë. Akhirnya anaknya ditinggal di Kerajaan Bakal tersebut dengan syarat
nama Lingë tersebut jangan ditinggalkan, pagi hari pelaksanaannya. Dukun Kul
(Paranormal Hebat), mengeturunkan si Bayak Lingë Karô. Inilah yang menyebabkan
adanya hubungan antara Réjé Lingë Di Gayô dan Réjé Lingë (Lingga) di
Karô.Djohan Syah, Anak ke 2 Réjé Lingë. Sepeninggal adiknya Djohan Syah juga
ingin pergi mengaji ke Pérlak,Weh Ben, atau Bayeun (dalam bahasa Aceh) di Kuala
Simpang. Ingin belajar kepada Tengku Abdullah Kan’an dari Arab, seorang Tengku
yang terkenal.Cukup lama Djohan Syah menuntut ilmu hingga mencapai gelar
Mualim. Ketika jumlah muridnya cukup 300 orang muridnya Ia menanyakankepada
murid-muridnya bahwa ia berencana akan mencoba mengembangkan Agama Islam ke
Kuté Réjé, yang pada waktu itu masih belum Islam. Ketika rombongan Tengku
tersebut sampai di sana Kutéréjé sedang dalam peperangan antara Raja-Raja Besar
yang ada dengan utusan dari Nan King atau China yang bernama Nian Niu Lingkë ,
Pétroneng. Namun kekuatan dari Puteri Cina tersebut tidak terlawan karena ada
ilmu sihir, sehingga banyak Raja yang berhasil dikuasai dan takluk kepada
mereka, sampai akhirnya sampai kesebuah Kerajaan di Langkrak Sibreh. Ketika
tiba rombongan tersebut ke daerah tersebut Tengku menawarkan bantuannya kepada
ke Réjé Lamkrak dengan syarat mereka diberikan tempat khusus serta meminta
syahadat dari Raja Langkrak.Dengan alasan tersebut akhirnya masuk Islam Raja
Langkra. Setelah itu akhirnya ia melihat siapa yang akan diangkat menjadi
Panglima Perang, satu per satu dilihat hingga akhirnya sampai kepada Djohan
Syah, yang akhirnya menjadi Panglima Perang saat itu. Lantas diberi bekal oleh
Tengku bekalnya, juga kepada semua murid-muridnya untuk berperang. Ke 300 orang
ini kelak disebut sebagai marga Suke Leretuh atau suku 300, asal mulanya dari
salah satu Bangsa Aceh ini. Setelah itu Djohan Syah memimpin peperangan dengan
berbekalkan ilmu Al quran sehingga akhirnya Puteri dari Cina tersebtu akhirnya
berhasil dikalahkan, Ratu Petromenk kalah, sehingga ia mundur pada basis
pertahannya terakhir di Lingkë. Melihat hal tersebut Djohan Syah merubah
strateginya dalam memenangkan peperangan dengan memblockade saja benteng
terakhir ini, hingga Putri Neng meminta damai. Dalam perjanjian damainya Tengku
Abdullah megatakan mau berdamai dengan syarat Putri Neng mengucapkan
syahadat.Putri Neng mengatakan sanggup akan tetapi dilakukan secara rahasia.
Akhirnya di tengah laut mereka berdamai, ntah kenapa setelah pedamaian terjadi
dan sudah memandikan Puteri Cina tersebut Tengku menangis, ia merasa belum
sempurna perdamaian sebelum dilangsungkan pernikahan antara Djohan Syah dengan
Putri Neng. Lalu dinikahkan Keduanya Oleh Tengku Kan’an. Kemenangan tersebut
megah sampai dengan kerajaan Melayu manapun sehingga diangkat menjadi Sultan
Aceh yang pertama bergelar Djohan Syah.Sehingga Raja-raja yang bergabung disana
mengangkat menjadi Raja Kutéréjé I Djohan Syah, dan menjadikan Agama Islam
berkembang dengan pesat disana.
Malam Syah dan Datu Beru tetap bersama Raja
Lingë I, Malim Syah akan meneruskan Pemerintahan Kerajaan Lingë sedangkan Datu
Beru akan menjadi pemegang kunci rahasia Kerajaan Lingë.
Kerajaan Malik Ishaq
Islam pertama kali datang dari Ghujarat dan
Arab yang singgah di Perlak, sehingga menjadi salah satu Kerjaan Islam di
Pesisir Utara Sumatera. Sewaktu terjadi perangan Kerajaan Perlak dengan
Sriwijaya dari Palembang sampai 20 tahun. Sultan Malik Ishaq waktu itu ia
menyuruh mengungsikan perempuan dan anak-anak, ada suatu negeri yang ada
Kuté-kuté yang akhirnya bernama dengan Ishaq, daerah Ishaq sekarang. Anak Malik
Ishaq adalah Malik Ibrahim, anaknya kemudian adalah lantas Muyang Mersah.
Kuburannya sampai sekarang tempatnya masih ada akan tetapi tidak bisa diketahui
lagi kuburannya karena sudah diratakan dengan tanah, namun telaga muyang mérsah
masih ada. Muyang Mérsah menpunyai 7 orang anaknya yaitu Mérah Bacang, Mérah
Jérnah, Mérah Bacam, Mérah Pupuk, Mérah Putih, Mérah Itém, Mérah Silu dan yang
bungsu Mérah Mégé. Namun Mérah Mégé adalah anak kesayangan dari kedua orang
tuanya yang kerap kali membuat iri dari adik-adiknya, sehingga mereka
merencanakan akan membunuhnya.Kesempatan itu datang pada saat merayakan Maulid
Nabi di Ishaq maka pihak perempuannya menyiapkan kreres (lemang) sedangkan
laki-lakinya mungarô (berburu) untuk lauk dari kreres tersebut. Akhirnya si
bengsu diajak ngarô untuk kemudian dibunuh, namun kakak-kakaknya ternyat tidak
sampai hati membunuh adiknya tersebut sehingga hanya dimasukkan ke Loyang
datu.Mengetahui bahwa anak bungsunya hilang membuat marah orang tuanya. Ketika
Mérah Mégé ada di Loyang Datu ia ternyata mendapatkan makanan dari anjingnya
yang bernama ‘Pase’. Melihat tuannya dimasukkan kedalam lubang oleh
abang-abangnya anjing tesebut kemudian selalu mencarikan makanan untuk Mérah
Mégé.Bahkan makanan yang diberikan kepadanya.Dibawanya ke Loyang Datu untuk
kemudian diberikan kepada Mérah Mégé. Keanehan atau keganjilan dari Pase ini
tentunya akhirnya mendapat perhatian dari Muyang Mérsah, hingga akhirnya ia
memutuskan untuk dapat mengikuti anjing tesebut dengan berbagai upaya, yaitu
ketika memberikan makanan kepada anjing tersebut ia juga menaruh dedak sehingga
kemanapun anjing tersebut akan meninggalkan jejaknya. Hingga akhirnya
diketemukan Mérah Mégé tersebut.Yang kemudian dirayakan dengan besar-besaran
oleh Muyang Bersah. Kemudian Mérah Mégé menjagai pusaka, dan keturunannya
tersebar diseluruh Aceh, Meulaboh, Aceh Selatan daerah Kluet, seluruh perairan
diseluruh Aceh, didahului dengan nama Mérah.
Keenam Anak Muyang Mérsah
Keenam Saudara Mérah Mégé akhirnya lari,
pertama kali lari ke Ishaq karena malu. Namun begitu diketahui Raja dan
kemudian akan disusul mereka lari kembali ke Tukél kemudian membuka daerah yang
bernama Jagong, dikejar kembali sampai akhirnya ke Sérbé Jadi (Serbajadi
Sekarang). Dikejar terus anaknya, karena rasa sayang, setelah rasa marahnya
Raja tersebut hilang. Namun mereka sudah amat malu kepada ayahnya akhirnya
mereka sepakat untuk berpisah dengan catatan akan menyebarkan Agama Islam pada
daerah yang akan ditempatinya. Mérah Bacang, si sulung, pergi ke batak untuk
mengembangkan Islam ke daerah Barus, Tapanuli.Yang ke-2 Mérah Jérnang ke Kala
Lawé, Meulaboh. Yang ke-3 Mérah Pupuk Mengembangkan agama Islam ke Lamno Déyé
antara Meulaboh dan Kutéréjé. Yang ke- 4 dan 5 Mérah Pôtéh Dan Mérah Itém di
Bélacan, di Mérah Dua (sekarang Meureudu) masih ada kuburannya. Yang ke-6 Mérah
Silu ke Gunung Sinabung, Blang Kéjérén
Mérah Sinabung
Mérah Silu mempunyai seorang anak yang bernama
Mérah Sinabung (Dalam bahasa Gayô Mérah Sinôbông).Mérah Sinambung ternyata
lebih berwatak sebagai Panglima, sehingga hoby adalah mengembara. Sampai ia
berada pada suatu daerah yang sedang berperang. Perang yang terjadi antaran
Kerajaan Jémpa dan Samalanga. Kerajaan Jémpa waktu itu sudah beragama Islam,
hingga akhirnya ia menawarkan bantuan kepada Raja Jempa tersebut dan berhasil
memenangkan peperangan dengan Kerajaan Samalanga. Jasa baiknya tersebut
akhirnya membuat Raja Jémpa menikahkan putrinya kepada Mérah Sinabung.,
Keduanya mempunya 2 orang anak yang bernama
Malik Ahmad dan Mérah Silu. Setelah Mérah Sinabung wafat maka naiklah Malik
Ahmad menjadi Raja Jempa, akan tetapi ada syak wasangka terhadapa Mérah Silu,
karena ia lebih berbakat dan lebih alim serta lebih dicintai rakyatnya maka
timbul kecemburuan yang terjadi. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan
maka Mérah Silu akhirnya pergi ke daerah Arun, Blang Sukun, untuk menghabiskan
waktunya ia bekerja sebagai pande emas, besi dan barang logam lainnya sedangkan
malamnya ia mengajar mengaji.Lama kelamaan orang sekitar menjadi mengenal Mérah
Silu sebagai Mualim, tokoh masyarakat, akhirnya menjadi Réjé di Lhoksmawé.
Sehingga kemudian ia diangkat menjadi Sultan Pase pertama atau disebut dengan
Sultan Malikus Saleh. Sebutan daerahnya Pase merupakan sebutan yang diambil
dari nama anjing yang telah menyelahamatkan Datunya,
Mérah Mégé.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar